Dia adalah kata yang hanya berani ku bisikkan pada senja. Dia adalah asa yang sejak lama bersarang di dada. Dia adalah rasa sakit yang takkan pernah hilang 'pabila ku tak bersamanya. Dia adalah kamu yang berdiri di menara biru, yang membuat hatiku terbelenggu, namun kemudian lebih memilih tuk berlalu. 23.4.19
kubiarkan hitam berhamburan berlarian mengelilingi relung jiwaku berhimpitan memenuhi ruang hati berebut menutup pekatnya jiwa tak menyisakan celah putihnya rasa ribuan hitam terus menggelinding berbenturan
biar kupendam laraku sendiri biar kukubur dalam dalam perih ini kan kututup rapat segala luka yang ada kan kusimpan semua pilu yang mendera tak kan kubiarkan siapapun mengusik lara ini tak kan kuijinkan siapapun menanggung perihku sang hitam terus menyeruak diantara tamparan kehidupan sang hitam merengkuh remahan kenyataan hitam pun berteriak menggemparkan mayapada
Beberapa netra berkedip begitu rusuh Ketika aku akan berhenti menuliskan namamu, Dengan napas yang berusaha kuatur baik
Tak perlu menunggu Sebab sebentar lagi Tatapku akan melayang pergi Menanggalkan peta Di ujung sebuah catatan pasi
Cukup saja sehelai kauambil, Lalu buang setitik hasadku ke udara Di awal kudapati mataku Dicuri lagi olehmu
---kelak pada ujung napas, rayulah Tuhan dengan beberapa ayat pejanjian lama. Seperti rumput yang menunduk, menciumi biji-biji yang berserakan di tanah; sebelum batang di kepala kita menjulang.---
Terbenam dalam alam pikir, susah dikendalikan, tapi bukan berarti tak mampu. Jadi tuangkan saja dalam secarik kertas, diwarnai dengan kata, lalu bagikan pada dunia. Ijinkan ia melanglang buana, mencari tempatnya sendiri, mungkin pada sebuah sudut hati yang sedang menyendiri. 12.5.19